Senin, 15 Desember 2014

Posted by Unknown On 20.43
SETIAP bulan Agustus, pada tanggal 17, atau menjelang tanggal tersebut, kita bangsa Indonesia mencari berbagai cara untuk memeriahkan hari kemerdekaan kita. Berbagai acara lomba digelar, baik lomba yang mendidik, lomba olahraga persahabatan, kejuaraan, maupun lomba untuk sekedar memeriahkan. Dan ketika itu, lomba panjat pinang adalah salah satu yang paling ditunggu-tunggu dan yang paling meriah.

Benarkah panjat pinang hanya sekedar lomba ringan semata yang tujuannya untuk menghibur, ataukah ada filosofi lain di balik itu. Menurut tulisan Erlinda di Kompasiana, yang berjudul Salah Kaprah 17 Agustus, tanggal 23 Juli 2010 lalu, ada salah kaprah dalam dalam perayaan tujuh belas agustus dengan acara lomba panjat pinang ini. “… Tapi panjat pinang itu lho, sejarahnya kan sebagai bentuk pelecehan ambtenar Belanda terhadap kaum pribumi, para kuli yang beristirahat di sore hari. Bayangkan! Panjat pinang adalah hiburan gratis untuk para amtenar sementara kaum pribumi diolok karena berebut hadiah di atas pohon. Kok tradisi gila macam ini dibudayakan? Lucunya kita!,” tulis Erlinda.

Di samping itu, di tengah-tengah kemeriahan acara panjang pinang itu pula, ada sesuatu yang menyayat nurani, yaitu pikiran kita akan nasib pohon pinang itu sendiri. Untunglah tahun ini perayaan 17 Agustus betepatan dengan bulan Ramadhan sehingga acara panjat pinang tidak banyak dilaksanakan, sehingga pohon pinang pun bisa terselamatkan untuk sementara waktu.

Kalau tidak, tentu ribuan pohon pinang sudah ditebang tahun ini demi untuk memuaskan selera masyarakat yang haus tontonan Agustusan. Seperti yang diceritakan Pak Suhiri dalam Kompas.com, 4 Agustus 2010, “Untuk tahun ini, penjualan (pohon) pinang agak sepi. Ada yangpesen sebelum bulan puasaTapi sampai hari ini pesenannya baru dua batang,” kata Sahiri saat dijumpai pada Rabu (4/8/2010).

Padahal, setiap tahunnya, paling sedikit Sahiri bisa menjual minimal 25 batang. “Tahun kemarin malah sampai 100 batang karena ada partai yang bikin lomba panjat pinang besar-besaran,” ujarnya. (Kompas.com, 4 Agustus, 2010).

Itu baru cerita dari satu orang Pak Suhiri, di Jakarta. Kalau satu orang Pak Suhiri saja bisa menjual sampai 100 batang, bagaimana kalau ada 10 Pak Suhiri, 1000 Pak Suhiri, atau lebih, tentu ribuan, bahkan ratusan ribu pohon pinang tumbang setiap tahunnya, hanya demi untuk kepuasan sesaat, yang hanya satu hari, kalau tidak mau disebut beberapa jam, untuk memenuhi rasa haus manusia akan hiburan, sedangkan waktu untuk pohon pinang itu tumbuh dewasa hingga siap tebang adalah puluhan tahun.

Kalau keadaannya terus menerus seperti ini, tentu lama kelamaan pohon pinang akan punah dari bumi nusantara ini. Sekarang saja, bahkan di pelosok-pelosok desa pun sudah langka. Hal ini tentu ada hubungannya dengan penebangan besar-besaran setahun sekali itu, sedangkan peremajaan pohon pinang sendiri minim sekali. Jarang sekali orang yang sengaja menanam pohon pinang.

Masuk akal jika lama kelamaan pohon pinang akan punah karena ditebang secara masif setiap tahun, sedangkan waktu yang diperlukan oleh pohon pinang untuk mencapai usia siap dewasa, usia tebangan, adalah sekurangnya 15 tahun.

Sekarang ini pun gejala kemusnahan itu sudah tampak, seperti yang diakui Yandi, salah seorang penjual pohon pinang, warga RT 19, Jl Sungai Tenang, Kelurahan Pulokerto, Kecamatan Gandus, berikut ini, “Sebenarnya banyak Mas, kalau mau dilayani semua pesanan. Tapi, karena sudah sulitnya mencari pohon pinang, maka hanya bisa melayani dua pesanan saja. Ini-pun, batangnya diambil dari depan rumah. Beruntung saja, masih ada empat batang pohon pinang lagi. Jadi dari empat itu, hanya bisa ditebang dua saja. Lainnya, batangnya masih kecil-kecil,” ungkap Yandi kepada koran ini. (Sumatera Ekspres, 5 Agustus 2010).

Seandainya bukan karena naluri sesat manusia akan hiburan tentu pohon pinang tidak akan punah secepat itu.

Hal lain yang mungkin berkontribusi terhadap gejala kemusnahan pohon pinang adalah masalah harga buah pinang yang cenderung merosot sehingga membuat petani pinang merugi, sehingga tidak jarang para petani menjual pohonnya.

Indonesia merupakan salah satu pengekspor pinang terbesar di samping Thailand, Malaysia, Singapura, dan Myanmar. Komoditas yang digunakan untuk bahan obat dan makanan kecil itu diekspor ke Pakistan, Banglades, Nepal, dan India. Harga pinang jatuh sejak India menyebarkan isu bahwa pinang dari Indonesia menyebabkan kanker gusi. Selain itu, India menaikkan bea masuk pinang sampai 15 persen. (KOmpas.com/23 Juli 2010)

Sekarang hal yang sehat dan masuk akal untuk dilakukan adalah memperbaiki mutu buah pinang untuk ekspor agar bisa bersaing dengan produk ekspor dari negara-negara lain, sehingga para petani bergairah mengelola pohon-pohon (kebun) pinang mereka. Hanya dengan demikianlah kita bisa menyelamatkan pohon pinang.

Lupakan filosofi panjat pinang yang katanya untuk menjalin kekompakan,seperi yang ditulis Erlinda, karena, sungguh, untuk menjalin kekompakan tidak hanya dengan panjang pinang. Lupakan panjat pinang sebagai acara untuk memeriahkan ulang tahun kemerdekaan RI, karena sesungguhnya masih banyak sekali acara yang bisa diselenggarakan untuk memeriahkan hari kemerdekaan, selain membabat pohon-pohon dari muka bumi ini.
oleh : Hasim on Saturday, August 14, 2010 
sumber : http://novenrique.blogspot.com
sumber gambar :
gambar 1 :http://data.tribunnews.com/foto/images/preview/20130628_lomba-panjat-pinang-hut-bhayangkara-ke-67_4504.jpg
gambar 2 : https://blog.tokopedia.com/wp-content/uploads/2014/08/53397207-1680x1050.jpg
KOTAPADI FLONA Sleman Yogyakarta

0 komentar:

Posting Komentar