SETIAP
bulan Agustus, pada tanggal 17, atau menjelang tanggal tersebut, kita
bangsa Indonesia mencari berbagai cara untuk memeriahkan hari
kemerdekaan kita. Berbagai acara lomba digelar, baik lomba yang
mendidik, lomba olahraga persahabatan, kejuaraan, maupun lomba untuk
sekedar memeriahkan. Dan ketika itu, lomba panjat pinang adalah salah
satu yang paling ditunggu-tunggu dan yang paling meriah.
Benarkah
panjat pinang hanya sekedar lomba ringan semata yang tujuannya untuk
menghibur, ataukah ada filosofi lain di balik itu. Menurut tulisan Erlinda di Kompasiana, yang berjudul Salah Kaprah 17 Agustus, tanggal 23 Juli 2010 lalu, ada salah kaprah dalam dalam perayaan tujuh belas agustus dengan acara lomba panjat pinang ini. “… Tapi
panjat pinang itu lho, sejarahnya kan sebagai bentuk pelecehan ambtenar
Belanda terhadap kaum pribumi, para kuli yang beristirahat di sore
hari. Bayangkan! Panjat pinang adalah hiburan gratis untuk para amtenar
sementara kaum pribumi diolok karena berebut hadiah di atas pohon. Kok
tradisi gila macam ini dibudayakan? Lucunya kita!,” tulis Erlinda.
Di
samping itu, di tengah-tengah kemeriahan acara panjang pinang itu pula,
ada sesuatu yang menyayat nurani, yaitu pikiran kita akan nasib pohon
pinang itu sendiri. Untunglah tahun ini perayaan 17 Agustus betepatan
dengan bulan Ramadhan sehingga acara panjat pinang tidak banyak
dilaksanakan, sehingga pohon pinang pun bisa terselamatkan untuk
sementara waktu.
Kalau
tidak, tentu ribuan pohon pinang sudah ditebang tahun ini demi untuk
memuaskan selera masyarakat yang haus tontonan Agustusan. Seperti yang
diceritakan Pak Suhiri dalam Kompas.com, 4 Agustus 2010, “Untuk tahun ini, penjualan (pohon) pinang agak sepi. Ada yangpesen sebelum bulan puasa. Tapi sampai hari ini pesenannya baru dua batang,” kata Sahiri saat dijumpai pada Rabu (4/8/2010).
Padahal, setiap tahunnya, paling sedikit Sahiri bisa menjual minimal 25 batang. “Tahun kemarin malah sampai 100 batang karena ada partai yang bikin lomba panjat pinang besar-besaran,” ujarnya. (Kompas.com, 4 Agustus, 2010).
Itu
baru cerita dari satu orang Pak Suhiri, di Jakarta. Kalau satu orang
Pak Suhiri saja bisa menjual sampai 100 batang, bagaimana kalau ada 10
Pak Suhiri, 1000 Pak Suhiri, atau lebih, tentu ribuan, bahkan ratusan
ribu pohon pinang tumbang setiap tahunnya, hanya demi untuk kepuasan
sesaat, yang hanya satu hari, kalau tidak mau disebut beberapa jam,
untuk memenuhi rasa haus manusia akan hiburan, sedangkan waktu untuk
pohon pinang itu tumbuh dewasa hingga siap tebang adalah puluhan tahun.
Kalau
keadaannya terus menerus seperti ini, tentu lama kelamaan pohon pinang
akan punah dari bumi nusantara ini. Sekarang saja, bahkan di
pelosok-pelosok desa pun sudah langka. Hal ini tentu ada hubungannya
dengan penebangan besar-besaran setahun sekali itu, sedangkan peremajaan pohon pinang sendiri minim sekali. Jarang sekali orang yang sengaja menanam
pohon pinang.
Masuk
akal jika lama kelamaan pohon pinang akan punah karena ditebang secara
masif setiap tahun, sedangkan waktu yang diperlukan oleh pohon pinang
untuk mencapai usia siap dewasa, usia tebangan, adalah sekurangnya 15
tahun.
Sekarang
ini pun gejala kemusnahan itu sudah tampak, seperti yang diakui Yandi,
salah seorang penjual pohon pinang, warga RT 19, Jl Sungai Tenang,
Kelurahan Pulokerto, Kecamatan Gandus, berikut ini, “Sebenarnya
banyak Mas, kalau mau dilayani semua pesanan. Tapi, karena sudah
sulitnya mencari pohon pinang, maka hanya bisa melayani dua pesanan
saja. Ini-pun, batangnya diambil dari depan rumah. Beruntung saja, masih
ada empat batang pohon pinang lagi. Jadi dari empat itu, hanya bisa
ditebang dua saja. Lainnya, batangnya masih kecil-kecil,” ungkap Yandi kepada koran ini. (Sumatera Ekspres, 5 Agustus 2010).
Seandainya bukan karena naluri sesat manusia akan hiburan tentu pohon pinang tidak akan punah secepat itu.
Hal
lain yang mungkin berkontribusi terhadap gejala kemusnahan pohon pinang
adalah masalah harga buah pinang yang cenderung merosot sehingga
membuat petani pinang merugi, sehingga tidak jarang para petani menjual
pohonnya.
Indonesia merupakan
salah satu pengekspor pinang terbesar di samping Thailand, Malaysia,
Singapura, dan Myanmar. Komoditas yang digunakan untuk bahan obat dan
makanan kecil itu diekspor ke Pakistan, Banglades, Nepal, dan India.
Harga pinang jatuh sejak India menyebarkan isu bahwa pinang dari
Indonesia menyebabkan kanker gusi. Selain itu, India menaikkan bea masuk
pinang sampai 15 persen. (KOmpas.com/23 Juli 2010)
Sekarang
hal yang sehat dan masuk akal untuk dilakukan adalah memperbaiki mutu
buah pinang untuk ekspor agar bisa bersaing dengan produk ekspor dari
negara-negara lain, sehingga para petani bergairah mengelola pohon-pohon
(kebun) pinang mereka. Hanya dengan demikianlah kita bisa menyelamatkan
pohon pinang.
Lupakan
filosofi panjat pinang yang katanya untuk menjalin kekompakan,seperi
yang ditulis Erlinda, karena, sungguh, untuk menjalin kekompakan tidak
hanya dengan panjang pinang. Lupakan panjat pinang sebagai acara untuk
memeriahkan ulang tahun kemerdekaan RI, karena sesungguhnya masih banyak
sekali acara yang bisa diselenggarakan untuk memeriahkan hari
kemerdekaan, selain membabat pohon-pohon dari muka bumi ini.
oleh : Hasim on
Saturday, August 14, 2010
sumber : http://novenrique.blogspot.com
sumber gambar :
gambar 1 :http://data.tribunnews.com/foto/images/preview/20130628_lomba-panjat-pinang-hut-bhayangkara-ke-67_4504.jpg
gambar 2 : https://blog.tokopedia.com/wp-content/uploads/2014/08/53397207-1680x1050.jpg
KOTAPADI FLONA Sleman Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar